Jumat, 06 Juli 2012

IHWAL: KONSERVASI LAHAN CARA NABI [PART 2]

TIDAK CUKUP HANYA MEMBATASI

Umar menjelaskan, ihya’ mawat tidak cukup dengan hanya membatasi atau memagari lahan tak bertuan dgn batu atau duri lalu membiarkannya (para fuqaha menyebut cara ini dgn istilah tahjir). Namun, walo bukan termasuk ihya’ mawat, dgn tahjir seseorang juga bias mendapatkan hak guna atas tanah itu.

Dasarnya sebuah hadits yg diriwayatkan oleh Abu Dawud yg maknanya, “Barang siapa lebih dahulu terhadap apa-apa yg belum didahului oleh seorang muslim, maka ia lebih berhak atasnya (Mughni Al Muhtaj,4/366).
Tetapi setelah tiga tahun, tanah tersebut kembali kepada asalnya & siapa saja bisa memanfaatkannya, sebagaimna dinyatakan Umar di atas.

Read more »

Kamis, 28 Juni 2012

Keadilan Distribusi Dalam Islam Part I

Berbeda dgn ilmu ekonomi kapitalis & sosialis, sistem ekonomi Islam memiliki paradigma syariah, yg berarti tdk lg berorientasi kpd pasar, melainkan berorientasi kpd syariah (hukum) bersumber dari Qur'an & Hadits. Jika dilihat dari dasar filosofinya, berorientasi kepentingan dunia & akhirat, karena filosofi tauhid akan menaungi seluruh aktivitas hdup, bukan hnya sbatas aktivitas ekonomi melainkan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan:sosial, ekonomi,budaya,politik,hukum,iptek,bahkan tataran spiritual sekalipun.


Jika sistem kapitalisme menonjolkan individualisme dari manusia, & sosialisme pd kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: kesatuan (Unity ato tauhid) keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium ato Al-'Adl wal Ihsan), kebebasan (Free will ato Ikhtiyar) & tanggung jwab(Responsibility ato Fardh.

Bayan: Dr. Abdul Mannan, SE

Read more »

Kamis, 24 Mei 2012

IHWAL: KONSERVASI LAHAN CARA NABI [PART 1]

Di masa Umar bin Khattthab menjadi khalifah, beberapa pihak mencoba menguasai tanah. Caranya begitu ada tanah kosong langsung diberi pagar. Sayangnya. Setelah itu tananhnya dibiarkan mangkrak hingga bertahun-tahun. Padahal, ada pihak laen sangat membutuhkan. Mereka ingin menanami tanah nganggur itu untuk menyambung hidup. Tapi apa daya, tanah itu telah dikangkangi pihak lain.


Melihat praktek negatif tersebut Umar geram. Ia naik ke atas mimbar & menyampaikn,”Barang siapa menghidupkan lahan mati. Maka lahan itu untuknya. Dan orang yg memagari tanah dgn batu bisa memperolah hak setelah tiga tahun.”
Syariat Islam mmberi izin bagi seseorang untuk memanfaatkan tanah yg belum mnjadi kepemilikan pihak lain. Bahkan, ia kemudian berhak memiliki tanah tersebut. Inilah yg disebut dengan ihya’ mawat.

Namun ada beberapa pihak yg berbeda pendapat dgn Umar. Mereka brpendapat, hanya dgn memagari lahan, tanpa memberdayakannya sudah termasuk ihya’ mawat. Padahal, perilaku ini malah bertentangan dgn maksud & tujuan ihya’ mawat, yakni agar lahan-lahan tak bertuan itu bisa memberi manfaat kpd rakyat. Dan dgn memagari lahan tanpa mengelolanya, justru membuat lahan tanpa mengelolanya, justru mmbuat lahan itu mmberikan manfaat. Sebab itulah, Umar perlu mnjelaskan bahwa perilaku itu bukan tergolong ihya’ al mawat.

Para ulama mendefinisikan ihya’ mawat sebagai aktivitas perawatan tanah mati dengan menanaminya ato menjadikannya siap untuk dibajak. Sedangkan al-mawat (tanah mati) merupakan tanah yg tdk dimiliki & tdk dimanfaatkan oleh siapapun. (Lihat, Mughni Al Muhtaj, 2/361)
Dasar atas legalnya kepemilikan tanah dgn ihya’ mawat adalah sabda Rosululloh SAW, “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. “(Riwayat At Tirmidzi & beliau menshahihkannya)

Namun perbedaan ulama dalam masalah perizinan dgn pemerintah. Madzhab Imam Syafi’i & Imam Ahmad berpendapat bahwa ihya’ mawat tetap sah, meski tanpa izin pemerintah. Sedangkan madzhab Hanafi mensyaratkan izin dari pemerintah.

Read more »

Minggu, 20 Mei 2012

Carilah Rezeki, Tapi Jangan Tamak

Carilah Rezeki, Tapi Jangan Tamak

Oleh: M. Muttaqin, S.Sy

Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan. ( Q.S At Taubah: 105)

Carilah Rezeki
Sebuah kisah yang menarik tentang seekor ular buta. Ketika ular buta sedang melilitkan tubuhnya di atas pohon kurma, sekor burung datang dengan membawa sepotong daging dan menyuapkanya ke mulut ular. Saat mendekati ular, si burung mengeluarkan bunyi-bunyian dan bersuit sampai ular tersebut membuka mulutnya. Baru setelah itu, si burung memasukkan potongan dagingnya kedalam mulutnya.


Kisah diatas pernah diceritakan oleh ibnu jauzi didalam kitabnya, ketika membahas masalah rezeki makhluk-makhluk Allah. Sebuah pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari makhluk Allah yang tidak dikarunia akal, hidup dalam kebutaan namun tetap mendapatkan rezeki-Nya

Semua makhluk hidup di dunia ini telah ditetapkan rezekinya oleh Allah. Dia memberika rezeki kepada cacing yang ada di dalam tanah, kepada ikan yang ada di air, kepada burung yang ada di udara, kepada semut yang ada di kegelapan, dan kepada ular yang ada diantara bebatuan yang keras, bahkan kepada ular yang buta sekalipun, subhanallah..
Allah berfirman:
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. ( Al An’am : 38 )

Maksud lafadh مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab) sebahagian Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz.

Lalu bagaimana dengan manusia? Seyogyanya kita sebagai manusia yang yang lebih suci dari ular, burung dan ikan, tidak usah bersedih hanya karena soal rezeki. Karena kita dikaruniai olah Allah kelebihan akal untuk memahami ayat diatas. Kita telah tahu bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah dan telah tercatat di lauhul mahfudz, maka tugas kita hanyalah ikhtiar dan tawakal.

Ikhtiar dan tawakkal adalah kunci kesuksesan seseorang. Kesuksesan dalam segala hal. Sukses dalam belajar, bekerja, berwira usaha (bisnis), bahkan sukses di akhirat (masuk surga).
Ikhtiar artinya berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keinginan. Sementara tawakkal adalah menyerahkan hasil sepenuhnya hanya kepada Allah. Tanpa disertai dengan meminta bantuan kepada selain Allah yang mengandung unsur kemusyrikan, seperti meminta bantuan orang pintar (dukun).

Selama manusia mau berusaha dan berdoa, Allah akan memberikan jalan yang terbaik baginya. Yang menginginkan lulus dalam sekolah ( UN ) dan kuliah ia harus belajar dengan tekun dan berdoa, yang ingin kaya harus bekerja dengan ulet dan berdoa. Usaha dan doa ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Islam menganjurkan para pemeluknya untuk menjadi insan ghoni atau manusia yang kaya. Islam menyeru kepada para pemeluknya untuk mencari harta dengan cara yang baik, mengumpulkan harta dengan cara yang wajar dan membelanjakan pada hal-hal yang mulia, agar terangkat menjadi mulia karena hartanya.
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan. ( Q.S At Taubah: 105)

Rasulullah saw. Bersabda: sebaik-baik harta yang didapat dengan cara yang baik adalah harta yang ada di tangan orang-orang yang sholih.

Islam melarang pemeluknya untuk menjadi pengangguran karena pengangguran akan mengakibatkan kemiskinan. Oleh sebab itulah rasulullah saw. Memehon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan seraya bersabda, “Ya Allah, seseunguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.
Hadits diatas tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu majah: “ Berzuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu” makna hadits ini adalah manusia harus merasa cukup dengan kebutuhan dasar/pokok (makan, minum, sandang dan rumah) yang yang telah terpenuhi, juga merasa puas dengan terpenuhinya kebutuhan yang tidak mengharuskan meminta-minta dari orang lain.

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. ( Q.S Al Baqoroh: 273)

Dalam hadits disebutkan “ tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang di bawah”. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan yang mengambil dan meminta. Hadits ini merupakan himbauan kepada ummat Islam untuk memberi atau sedekah. Sementara untuk bisa memberi, haruslah memiliki terlebih dahulu, dan untuk memiliki tentunya harus berusaha mencari rezeki dengan bekerja.


Jangan Tamak.
Dalam kamus Al Munawwir tamak berarti rakus. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.
Dari definisi diatas bisa kita fahami, bahwa tamak adalah sikap rakus terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan tanpa memperhitungkan mana yang halal dan haram. Sifat ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifai sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan dan perbuatan keji dan mungkar lainnya, yang kemudian pada penghujungnya mengakibatkan manusia lupa kepada Allah SWT, kehidupan akhirat serta menjauhi kewajiban agama.
Sifat rakus terhadap dunia menyebabkan manusia menjadi hina, sifat ini digambarkan oleh beliau seperti orang yang haus yang hendak minum air laut, semakin banyak ia meminum air laut, semakin bertambah rasa dahaganya. Maksudnya, bertambahnya harta tidak akan menghasilkan kepuasan hidup karena keberhasilan dalam mengumpulkan harta akan menimbulkan harapan untuk mendapatkan harta benda baru yang lebih banyak.
Ibnu Athaillah mengatakan: “Tamak timbul dari wahm”
Wahm artinya ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Oleh kerena itu, pembaca buletin At Taqwa yang budiman, mari bersama menghilangkan penyakit wahm dari diri kita. Yakin dan optimislah, selama manusia mau ihtiar dan tawakkal Allah akan mencurahkan karunia rizki-Nya kepada kita.
Kembali pada kisah ular buta diatas, bahwa Allah telah menjamin rezeki, kematian dan kehidupan semua makhluk-Nya.

Wallahu a’lam bis Showab.

Penulis Adalah Anggota Majlis Tarjih PDM Kudus dan Pengasuh Ponpes Muhammadiyah Kudus.

Read more »

Kamis, 17 Mei 2012

Anjuran Bekerja Untuk Kehormatan Diri


Islam dgn tegas menyatakan bahwa bekerja itu mendapatkan pahala.  Sebab, bekerja dlm konsep Islam merupakan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yg meninggalkannya akan trkena sanksi dosa.  Tentang kewajiban bekerja, Rosululloh SAW bersabda,
“Mencari rezeki yg halal itu wajib sesudah menunaikan yg fardhu (seperti sholat, puasa, & sebagainya).”  (Riwayat Thabrani & Baihaqi)

Islam memberikan apresiasi yg sangat tinggi bagi mereka yg mau berusaha dengan sekuat tenaga dlm mencari nafkah.  Rosululloh pernah ditanya tentang pekerjaan apa yg paling baik.  Beliau mnjawab, “Pekerjaan trbaik adalah usaha seseorang dgn tangannya sendiri & smua perjualbelian yg dianggap baik.” (Riwayat Ahmad & Baihaqi)
Bahkan ketika seseorang merasa kelelahan / capek setelah pulang bekerja, Alloh mengampuni dosa2-nya saat itu juga.  Dalam sebuah hadits Rosululloh SAW bersabda,”Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Alloh.” (Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir).
Dgn bekerja, seseorang tdk akan trgantung kpd orang lain.  Bahkan byk orang yg bekerja keras kemudian bias mmbantu orang lainnya.  Orang tersebut sperti mngamalkan sabda Rosululloh SAW, “Tangan di atas, itu lebih baek daripada tangan yg di bawah.  Tangan yg di atas adalah tangan yg memberi & tangan yg di bawah adalah tangan yg meminta-minta.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
Islam jg memandang bekerja mencari nafkah sebagai bentuk ibadah sekaligus rasa syukur kpd Alloh.  Ini diterangkan dalam firman Alloh:” Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (Saba’ [34]:13)
Sebaliknya orang yg tdk bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat & harga diri di hadapan dirinya sendiri, jg di hadapan orang lain.  Jatuhnya harkat & harga diri akan menjerumuskan manusia pd perbuatan hina, baik di sisi manusia maupun di sisi Alloh.
Dari Abu Abdulloh Az-Zubair bin Al-Awwam, ia berkata, Rosululloh SAW bersabda.”Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung & kembali dgn memikul seikat kayu bakar & mnjualnya, kemudian dgn hasil itu Alloh mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kpd sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.”(Riwayat Bukhari)
Islam mengajarkan kita utk bekerja agar terhindar dr kemiskinan, karena kemiskinan itu sngat dekat kpd kekufuran.

Read more »

Rabu, 16 Mei 2012

Mengenal Riba 


 Dewasa ini, semua sendi kehidupan perekonomian kita tidak bisa terlepas dari riba. Sistem riba dengan konsep bunga sebagai senjatanya terus menerus masuk ke dalam sendi investasi dan bisnis. Riba seperti pisau bermata dua, di satu sisi banyak yang mencari keuntungan darinya, di sisi lain banyak yang dirugikan karena ketidakadilannya. Riba ada di transaksi jual beli, pinjam meminjam, perbankan, dan lain sebagainya. Apakah Anda telah mengenal lebih mendalam tentang riba? Mari kita mengenal dan mengerti riba lebih baik lagi. Tulisan kali ini akan menguraikan secara singkat dan mendalam tentang riba.
 Secara bahasa, riba adalah sesuatu yang lebih, bertambah, dan berkembang.
Allah SWT berfirman, “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39).
 Maksud ayat ini, setiap harta yang diambil karena riba dengan tujuan agar harta mereka bertambah dan berkembang justru akan dikurangi oleh Allah. Tidak aka ada berkah pada hartanya.

 Definisi Riba Menurut Ulama Syafi’iah
 Menurut ulama fikih kalangan Syafi’iah, riba adalah bentuk transaksi dengan cara menetapkan pengganti tertentu (‘iwadh makhshush) yang tidak diketahui kesamaannya (dengan yang ditukar) dalam ukuran syar’i pada saat transaksi, atau disertai penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya. Maksud ‘iwadh makhshush adalah harta riba itu sendiri. Maksud tidak diketahui kesamaannya adalah melebihkan nilai salah satu barang yang dipertukarkan dari yang lainnya. Maksud ukuran syar’i adalah nilai takaran saat menimbang. Disyaratkan harus diketahui saat transaksi adalah suatu sikap hati-hati, jangan sampai kesamaan dari dua barang yang dipertukarkan baru diketahui setelah proses akad. Sebagai contoh, setumpuk gandum ditukar dengan setumpuk gandum yang lain, tetapi tidak diketahui ukurannya pada saat akad. Maka yang demikian termasuk transaksi ribawi. Adapun yang dimaksud dengan penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya adalah tidak terjadi serah terima barang oleh kedua belah pihak yang bertransaksi pada saat transaksi berlangsung atau ada syarat penangguhan dalam akad.

 Definisi Riba Menurut Ulama Hanafiah
 Menurut ulama Hanafiah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada pada barang ditukar, berdasarkan ukuran syar’i yang dipersyaratkan kepada salah satu pihak, yang berakad pada saat transaksi. Nilai lebih adalah tambahan, baik bersifat haqiqi maupun hukmi.
Contoh nilai lebih yang bersifat haqiqi adalah seseorang yang menjual sekilo gandum dengan dua kilo gandum. Sedangkan, hukmi dilakukan dengan cara mengulur waktu penukaran. Contoh, seseorang menjual sekilo gandum dengan sekilo gandum yang sama, dan baru akan dibayarkan kemudian. Adanya tambahan tidak termasuk jenis riba, kecuali jika dipersyaratkan. Apabila salah seorang yang berakad memberikan tambahan bukan karena dipersyaratkan, hal ini tidak termasuk riba. Disebutkannya ‘iwadh (pengganti) dalam kedua definisi riba di atas menunjukkan bahwa hal itu hanya terjadi pada akad transaksi. Jika seseorang memberikan barang kepada orang lain, lalu orang yang diberi menggantinya dengan barang yang sama, namun dalam jumlah yang lebih banyak, tambahan itu tidak termasuk riba. Pemberian (hibah) pada hakikatnya tidak ada dalam akad transaksi. Biasanya, orang yang menerima hibah akan mengganti sesuatu yang telah diterimanya kepada si pemberi dalam bentuk materi. Hanya saja, dimasukkannya hibah dalam kategori akad transaksi karena umumnya orang yang memberi hibah akan mendapatkan pengganti. Pengganti tersebut biasanya dalam bentuk maknawi, seperti hubungan silaturahmi atau ikatan batin yang semakin kokoh.

 Jenis-jenis Riba dan Hukumnya
 Pada umumnya, ketika para ulama fikih membahas permasalahan transaksi ribawi, mereka berbicara seputar jual beli harta-harta ribawi yang satu dengan lainnya. Pembahasannya bisa ditinjau dari segi adanya penambahan pada salah satu barang yang dipertukarkan. Selain itu, bisa dari segi ada tidaknya penangguhan dalam proses transaksi seperti diketahui pada definisi riba yang telah dijelaskan di atas.

 Ulama fikih membagi riba menjadi beberapa macam:
 1. Riba al-fadhl atau bunga tambahan yaitu menukar harta yang berpotensi riba dengan jenis yang sama disertai adanya penambahan pada salah satu barang yang dipertukarkan. Contohnya, 100 gram emas ditukar dengan 110 gram emas yang sejenis, bisa kurang atau bisa juga lebih dari itu. Riba jenis ini adalah tambahan yang jelas dan nyata. Praktik riba jenis ini diharamkan dan dilarang dalam hukum Islam. Hal ini tertera dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dari Abu Sa’id Al-Khudriy ra. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sebanding dan janganlah kalian menambah bagian yang satu atas bagian lainnya. Jangan pula kalian menjual uang dengan uang kecuali nilainya sebanding dan janganlah kalian menambah bagian yang satu atas lainnya.” Dalam hal ini, bagus atau jeleknya kualitas barang tidak menjadi pertimbangan berdasarkan keumuman. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menambah sebagiannya atas yang lain.” Proses pembuatan tidak menjadi perhitungan dalam hal ini. Jika seseorang menukar emas yang dicelup dengan emas yang dicetak, timbangan kedua barang tersebut harus sebanding. Tidak ada yang boleh rendah timbangannya atas yang lain. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Dan janganlah kalian menukar uang dengan uang, kecuali sebanding.”
 2. Riba Al-Nassa’I (nasi’ah) atau penangguhan pembayaran, yaitu jual beli harta ribawi dengan harta ribawi lain yang pada keduanya terdapat ‘illat (sebab hukum) yang sejenis, dengan pembayaran yang ditangguhkan. Dalam konteks ini, tidak ada bedanya kedua barang yang dipertukarkan itu dari jenis yang sama atau berbeda dan jumlah keduanya sama atau tidak. Contoh, seseorang yang menjual satu gram emas dengan satu gram emas atau perak yang ditangguhkan pembayarannya hingga satu bulan. Transaksi seperti ini diharamkan dalam hukum Islam karena pada hakikatnya terdapat unsur riba meskipun tidak terlihat jelas, yaitu terjadi “penambahan” waktu pembayaran (dari jangka waktu seharusnya). Larangan ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah saw. dalam hadits dari Abu Sa’id yang perama, “Dan janganlah kalian menjual barang ga’ib dengan najiz.” Ga’ib adalah barang yang masih ditangguhkan penyerahannya, sedangkan najiz adalah barang yang telah ada.” Kedua jenis riba ini disepakati oleh para ulama Syafi’iah dan Hanafiah. Namun, ulama Syafi’iah menambah satu macam lagi, yakni riba al-yad.
 3. Riba Al-Yad, yaitu menukar harta ribawi dengan harta ribawi lain yang memiliki ‘illat (sebab hukum) serupa tanpa dipersyaratkan adanya penangguhan pembayaran, namun terjadi penangguhan serah terima kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya dari waktu transaksi berlangsung. Argumentasinya disandarkan pada hadits Umar ra., “Kecuali ambillah yang ini dan ambillah yang ini!” Hal ini menunjukkan wajibnya serah terima (barang yang dipertukarkan) pada saat transaksi berlangsung. Sementara, ulama Hanafiah menganggap jenis riba ini adalah jual beli sempurna yang tidak berpotensi terkena riba karena penangguhan tidak dipersyaratkan. Sehingga, ulama Hanafiah dan Syafi’iah menyepakati pembagian riba ke dalam dua jenis, yakni riba al-fadhl dan riba al nassa’i. Riba jenis pertama (al fadhl) adalah riba yang padanya terdapat tambahan jumlah pada salah satu barang yang dipertukarkan dalam jual beli sempurna. Sementara itu, riba jenis kedua (al-nasi’ah) adalah riba yang padanya terdapat tambahan waktu pada salah satu barang yang dipertukarkan dalam jual beli yang ditangguhkan (mu’ajjal). Jika penangguhan tidak dipersyaratkan, menurut ulama Hanafiah, termasuk dalam jenis jual beli sempurna. Sementara itu, menurut ulama Syafi’iah termasuk dalam kategori riba al-nasi’ah.
sumber:portal investasi

Read more »

Senin, 14 Mei 2012

Tegakkan Peradaban dengan Iman

Umat manusia saat ini kian sadar bahwa ternyata materi bukanlah segala-2nya. Terbukti, Barat yg telah Berjaya dalam pencapaian materi, bukannya meraih kebahagiaan, malah menghadapi krisis kemanusiaan, baek moral maupun spiritual. Ini karena manusia adalah makhluk jasmani sekaligus ruhani, yg memiliki kebutuhan seutuhnya terhadap kedua dimensi itu. Umat Islam yg memiliki ajaran utuh mestinya bisa tampil menawarkan solusi peradaban. Tp sayang, umat ini tak lagi menjadi model ideal peradaban dunia sperti generasi terdahulu. Sebaliknya, malah banyak umat Islam yg justru terjerembab dalam kebodohan, keterbelakangan,& kemiskinan. Maka benarlah ungkapan seorang pembaharu Islam dari Mesir. “Al-Islamu mahjubun bil Muslimin(Keagungan ajaran slam tertutupi oleh keadaan kaum muslim sendiri).”
Mayoritas kehidupan kaum Muslim membebek pada peradaban kafir & tertlar gaya hidup cinta dunia (wahn). Hal itu membuat mereka lemah sehingga mudah dipermainkan musuh2-nya. Lengkaplah sudah penderitaan umat, baik secara lahir maupun batin. Namun, umat Islam tak boleh terus terpuruk. Bagaimanapun umat ini harus bangkit kembali. Lalu bagaimanan caranya??? Karena itu, peradaban Islam bukan sekedar bagaimana bisa menjalani hidup, tapi bagaimana hidup dgn semangat iman & Tauhid, yakni menomorsatukan Alloh dalam sgala hal,& hanya mencari ridho Alloh dalam setiap langkah.

Read more »